Kamis, 08 April 2010

Siapakah yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang ke balairung perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya.
Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. ”Ketika kau jadikan kami, adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?”

Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda Destarastra yang—dalam gelap matanya yang buta—toh pasti mendengar, dan menyaksikan, malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar, sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu….

Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana, yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada rambut. ”Budak!” seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi. ”Hayo, layani aku, budak!” Suara tertawa—kasar dan aneh karena gugup—terdengar di antara hadirin. Sangkuni ketawa. Duryudana ketawa. Karna ketawa.

Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah, menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya, dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. ”Apa boleh buat, Bima,” kata kesatria tengah Pandawa ini, ”merekalah yang menang, mereka tak menipu, dan Yudhistira tahu itu—perjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.”

”Baiklah, baiklah,” sahut Bima. ”Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku” (dan ia tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). ”Hai, kalian, dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku” (dan suara Bima terdengar seperti raung, muram, menggeletar), ”lalu akan kuminum darahnya, kuminum!”

Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa mendeham mengejek—bukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah telah jadi budak—tapi sebagian tiba-tiba merasa ngeri: rasanya memang sesuatu yang tak pantas telah terjadi di tempat terhormat ini.

Tapi, siapakah yang akan menolong Drupadi?
Sekali lagi, Dursasana mencoba menanggalkan kain dari tubuh istri Yudhistira itu. Kain terlepas…. Tapi entah mengapa, laki-laki perkasa itu tak kunjung berhasil menelanjangi wanita yang bingung dan pasrah itu. Mungkin ada keajaiban dari langit, mungkin Dursasana terlalu meradang oleh nafsu, mungkin anggur telah memuncak maraknya di kepala: di depannya, ia seakan-akan menghadapi berlapis-lapis kain yang menjaga kulit yang lembut itu. Tiap kali selembar terenggut oleh tangannya yang gemetar, tiap kali pinggul Drupadi seolah tertutup kembali. Dan Dursasana, pada klimaksnya, terkapar.

Ruangan agung itu seolah-olah melepas napas: memang ada sesuatu yang melegakan ketika adegan yang menekan saraf itu berakhir begitu hambar. Tapi tidak: persoalan Drupadi belum selesai. Dan kini wanita itu datang, setengah merangkak, ke hadapan para bangsawan tua yang selama ini menyaksikan semuanya dengan mata sedih tapi mulut tertutup.

”Paduka, berhakkah Yudhistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia merasa memiliki diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan kemerdekaannya?”

Kali ini Resi Bhisma—yang termasyhur arif dan ikhlas itu—menjawab, ”Aku tak tahu, Anakku. Jalan darma sangat subtil. Mana yang benar, mana yang tidak, bahkan orang yang paling bijaksana pun kadang-kadang hanya menduga. Cobalah kau tanya Yudhistira sendiri.”

Tapi tak ada ucapan yang terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak. Agaknya sesuatu, yang bukan termasuk dalam ruang judi para raja itu, yang bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki orang lain, juga dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap memisahkan antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan tuan.

Goenawan Mohamad
~Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIII/30 April - 06 Mei 2007~
Catatan: Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 24 Januari 1987
Draupadi saat diculik oleh Jayadrata




Ada yang tau atau malah mungkin sudah baca komik ini? Konon ini adalah Mahabharata'nya Grant Morrison. Entah seperti apa gubahan ceritanya, baru tau juga kalo ada komik ini dari hasil ngoprek2 blog2 orang di internet...dan ternyata di CBR adapreview'nya
18 Days takes one of the most enduring tales of the East and places it in the capable hands ofGrant Morrison, one of the greatest storytellers of the West. Combined with the visual spectacle ofMukesh Singh's artwork, this is a book that goes beyond myth, beyond generations and beyond borders, transcending the story's origins and showing the world a dynamic new vision of gods and war

Begitu komentar CEO Liquid Comics,Sharad Devarajan.

It's a re-imagining of the great Indian epic,Mahabharata and tells the story of three generations of super-warriors, meeting for the final battle of their age. The scale is epic, wherein the biggest armies ever conceived of face one another across the ultimate battlefield to decide the fate of the future. 18 Days follows the course of the climactic war that concludes the Third Age and begins the Dark Age we all now live in. It is the prototype for every war ever fought - and at its heart lies a warning for all of us and a message that can change lives...Begitu kira2 ulasanCBR mengenai komik yang jika dilihat dari illustrasinya rasanya memang sangat menarik ini... Ditambah iming2 hasil olah pikiranGrant Morrison terhada epic yang mungkin kita semua sudah sangat akrab ini, rasanya komik 18 Days ini benar-benar patut ditunggu!





Rama & Dasamuka (Rahwana)??? Gambarnya betul-betul luar biasa!



Sesepuh Pandawa dan Kurawa, Bhisma



Bima, Arjuna dan Yudhistira



Yudhisthira setelah Perang Bharatayudha usai



Kemungkinan ini adalah iring2anPandawa yang didampingi oleh Krishna ketika mengunjungiEyang Bhisma



Arjuna saat menerima Bhagavat Gita





Bima







Dari tampang2nya yang begajulan, hampir pasti iniKurawa. Sayang ya, masih juga terjebak stereotip tokoh antagonis harus bertampang tipikal begajul





Asli, artworknya keren banget! Setelah karya legendarisR.A Kosasih yang baru merayakan ulang tahun'nya ke 91 kemarin(Panjang umur dan semoga sehat-ehat selalu Pak Kosasih),Oerip (Gw suka sekali karya Pak Oerip almarhum ini) dan karyaJan Mintaraga almarhum, rasanya belum ketemu lagi komik yang berdasarkan mitologi Hindu atau yang biasa kita kenal dengan istilah wayang, yang benar-benar menarik! Ada beberapa judul karya komikus Indonesia juga dulu, tapi gw tidak ingat lagi sudah nama2nya :-P



Mungkin masih ingat denganRamayana Reborn'nyaAlex Ross? Saat lihat materi promo'nya gw excited sekali! Artworknya keren, semua sepeti apa yang selama ini ada dalam bayangan! Sempat beli edisi 0 dan 1'nya di Border beberapa waktu yg lalu, sayang artwork isinya ndak sehebat kovernya.. Ya, mungkin ekspetaksi gw aja yang berlebihan ya, jadi gak nerusin ngikutin serialnya lagi.

Tapi gw masih berharap akan ada komik wayang (versi Indonesia) gubahan baru karya teman-teman penulis dan komikus lokal yang gw yakin pasti bisa sehebat ini. Atau bahkan animasi? Wah...Pasti keren! Artist2 kita hebat-hebat kok! Tinggal nunggu ada yang menyumbangkan keahlian menulis dan membuat skenario yang asik, dengan twist dan plot yang keren... Pasti jadinya bagus ;-)

Atau...mungkin kisah legenda atau sejarah Indonesia sendiri? Re-imagining dari kisah-kisahSriwijaya?Majapahit?Pocahontas bisa jadiAvatar di tanganJames Cameron... Imagine kisahCut Nyak Din melawan penjajah Belanda misalnya, dalam kemasan dan gubahan cerita yang benar-benar baru...Out of the box! Ha ;-)
Konon, ketika Pasukan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram menyerang Belanda ke Betawi, salah sebuah rumah di Jakarta menjadi pos peristirahatan tentara Mataram. Di pos itulah seorang tentara Mataram setiap malam bercerita tentang tokoh-tokoh dan peristiwa pewayangan. Kisah-kisah yang diceritakan ternyata banyak disukai penduduk. Berawal dari sinilah kemudian muncul seni wayang kulit Betawi. Salah satu bentuk teater Betawi, yang penting. Ini cerita sejarah wayang kulit Betawi versi Surya Bonang, seorang dalang terkenal di antara sedikit dalang wayang kulit Betawi yang masih tersisa.

Banyak versi-versi sejarah tentang pemunculan wayang kulit Betawi. Kebanyakan dari versi yang ada mengkaitkannya dengan kehadiran pasukan mataram di Betawi. Terlepas dari benar atau tidaknya versi-versi sejarah lahirnya seni pewayangan di Betawi, yang jelas kehadiran wayang kulit Betawi adalah hasil interaksi dengan budaya para pendatang yang berasal dari Jawa. Oleh karena itu, tak heran antara wayang kulit Betawi dengan Wayang Kulit jawa banyak terdapat kesamaan.
Pertunjukan Wayang Betawi


“Pada wayang kulit Betawi, pengaruh Budaya Jawa dapat kita lihat pada boneka wayang yang pipih dan terbuat dari kulit kerbau. Tokoh-tokohnya juga mendekat wayang purwa Jawa,” ujar budayawan Prof Dr Umar Kayam. “Selain itu, reporter yang diambil dalam pewayangan Betawi sama dengan wayang Jawa, diambildari Mahabrata dan Ramayana. Perhatikan pula dialog yang dilakukan oleh dalang. Dialog dilakukan dengan Bahasa Melayu Betawi bercampur Jawa dan Sunda,” jelas Kayam lagi dalam Sarasehan Budaya Jakarta yang diadakan 25-27 juli lalu di taman Mini Indonesia Indah.

.

Serupa Tapi Tak Sama


Serupa tapi tak sama, ungkapan ini rasanya tepat guna menggambarkan perbandingan antara wayang kulit Betawi dan wayang kulit Jawa. Di antara berbagai persamaan ada pula beberapa perbedaan. Kalau saja kita jeli mengamati bentuk boneka wayang, penampilan wayang Betawi lebih kasar dibandingkan wayang dari Jawa Barat, Tengah atau Timur.

“Ini sesuai dengan sifat orang Betawi. Orang kita’kan kalau ngomong asal nyerocos saja kagak ada yang ditutup-tutupin, apa adanya,” kata Bonang beralasan.

Selain bentuk fisik boneka wayang, perbedaan juga kita temui pada alat musik yang dipakai.

“Musik kita mirip gamelan, tapi bukan gamelan, namanya gambang kromong,” kata Bonang.

Alat-alatnya terdiri kendang, gambang, kromong, kenong, rebab, suling, kecrek, dan gong. Kadang-kadang, disertai pula dengan terompet Cina. Menurut catatan Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Betawi yang ditulis Srijono, alat musik pengiring wayang kulit seperti yang saat ini kita jumpai, mulai dikenal tahun 1925.

Uniknya, dalam tiap petunjukan wayang kulit Betawi, ada tiga bahasa yang digunakan.

”Kalau ceritanya tentang orang-orang terhormat ya kita pakai bahasa Sunda atau Jawa. Tapi kalau cerita orang biasa kayak Gareng sama Petruk, nah… kita pakai dah bahasa Betawi klotokan. Itu tuh, Betawi yang tulen banget,” jelas Bonang dengan logat Betawinya yang kental.

Lucunya lagi, boneka wayang kulit Betawi justru didapat dari Jawa Tengah. “Kami beli dari Solo dan Yogya terus dipoles-poles lagi dah”. Cerita Bongan. Impor wayang dari Jawa Tenah ini terjadi, sebab menurut penuturan Bonang, Bahan-bahannya sulit didapat, di samping pembuat wayang kulit Betawi secara khusus memang tak ada.

Jika di Jawa umumnya kesenian wayang kulit berasal, dibina dan dikembangkan oleh pihak keraton, maka wayang kulit Betawi sesuai dengan struktur social dalam masyarakatnya yang tak mengenal bentuk kerajaan secara mantap, maka kesenina ini lebih menonjolkan ciri kerakyatan yang sederhana, polos dan suasana akrab yang timbal balik antara penonton dan dalang. Karenanya, jika kita menyaksikan pertunjukan wayang kulit Betawi, maka yang akan lebih sering kita dengar adalah percakapan dalam bahawa Betawi ‘Klotokan’ menurut istilah dalang Bonang. Atau istilah lain mengatakan Betawi ‘ora’ yaitu Betawi pinggiran.

.

Wayang Tambun


Ada beberapa pengamat yang menjuluki Wayang Betawi dengan sebutan Wayang Tambun. Istilah itu mereka gunakan berdasarkan sejarah penyebaran kesenian Betawi, yang kini kian langka. Wayang kulit Betawi, merupakan salah satu kesenian tradisional Betawi yang berkembang di daerah pinggiran kota Jakarta, yang saat sekarang dikenal dengan daerah Botabek. Karena wilayah penyebarannya di pinggiran Jakarta, khususnya daerah Tambun, Bekasi, maka Wayang Betawi disebut juga Wayang Tambun.

Wilayah penyebarannya antara lain meliputi Kebayoran Lama, Klender, Tambun. Depok dan Tangerang. Bahkan menurut catatan Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Betawi, beberapa daerah di Serang, Banten terdapt pula kesenian ini.

“Di Jakarta, dalang wayang kulit paling banyak ngumpulnya di daerah Jakarta Timur, Kramat Jati, Pasar Rebo dan sekitar Lubang Buaya sana,” kata Bongang.

Perkembangan Wayang Kulit Betawi sempat mandeg dan hampir saja punah dari panggung kesenian tradisional Betwi. Laju modernisasi yang begitu cepat berikut berbagai tawaran hiburan melalui sarana teknogi elektronik jauh lebih menggiurkan kaum muda Betawi. Mereka sebagai pendukung kebudayaannya, justru enggan mempelajari dan menonton wayang kulit. Bahkan, ada seorang mahasiswa yang mangaku putra asli Betawi bertanya, “Apa ada wayang kulit Betawi?” Aneh memang, tapi nyata.

Gejala ini diakui sendiri oleh Surya Bonang, dalang asal Jagakarsa. ”Anak muda sekarang mah nggak suka nonton wayang kulit Betawi. Selain itu juga, jadi dalang imbalannya kecil. Sekarang udah lebih lumayan dah, ada perhatian dari pemerintah,” ungkap Bonang.

Memang sejak tahun 1978, pemerintah melalui Pemda DKI mulai memperhatikan bentuk kesenian ini. Perhatian itu antara lain dilakukan dengan bentuk festival, seminar, penataran dan juga publikasi melalui layar kaca. Usaha pemerintah ini membawa hasil. Anak-anak muda Betawi mulai memperhtikan dan menyengangi kembali wayang kulit Betawi yang hampir saja tenggelam di antara bentuk-bentuk kesenian modern . Meski Bonang masih mengeluh. “Sekarang udah banyak anak muda mau perhatiin wayang. Tapi, yang benar-benar jadi dalang susah dicari, yang ada sekarang masih mentah,” tutur Bonang. Masalah regenerasi emang kagak gampang.

Sumber
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar