Senin, 26 Juli 2010

Angel’s Diary

makalah sistem ekonomi indonesia


SISTEM EKONOMI INDONESIA

 


PENDAHULUAN

Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah menyajikan  pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.

Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Kemudian  dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari persepsi  simplisistik semacam ini,  Indonesia pun  dianggap perlu  berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang “sosialistik” itu.

Kesimpulan yang misleading tentang menangnya sistem kapitalisme dalam percaturan dunia ini ternyata secara populer telah pula “mengglobal”.  Sementara  pemikir strukturalis masih memberikan  peluang terhadap pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan antara runtuhnya negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya) sistem sosialisme dalam prakteknya.

Pandangan para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebihnya diawali oleh fenomena konvergensi antara dua sistem raksasa itu (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti dkemukakan oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu Krushchev akan menjadi “kapitalis” dan anak-cucu Kennedy akan menjadi “sosialis”.
Mungkin yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu. Bukankah tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan individualistik dan tidak ada lagi sosialisme asli yang dogmatik dan komunalistik.

Dengan demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme vs komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan tanggung jawab global kita.
Globalisasi  dengan “pasar bebas”nya memang berperangai kapitalisme dalam ujud barunya. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu kita waspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan inequality yang makin parah, melahirkan “the winner-take-all society” (adigang, adigung, aji mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu tergantung kita, bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk ujud globalisasi. Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang kita tuju adalah pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.

LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
Secara normatif  landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian maka  sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan  yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia  (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).

Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan  merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya,  yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.

Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal    UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.

Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.

WILOPO –VS- WIDJOJO
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi  negara yang solid, suatu bangsa tidak akan  memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan  “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.
Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.
Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.
Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).
Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).
Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.

SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?
Dari  landasan sistem ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa  itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak,  yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi  politik”.
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”.


PASAL 33 UUD 1945 PERLU DIPERTAHANKAN

Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.
Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide “sosio-nasionalisme” dan ide “sosio-demokrasi”) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).
Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”. Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood  di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.
Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat “… Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek …”. Ini kiranya jelas, self-explanatory.
Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).
Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1 Pasal 33). “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan “asas kekeluargaan” adalah “brotherhood” atau “broederschap” (bukan kinship atau kekerabatan), bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. M. Umer Chapra (2001) bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah satu tujuan  dalam pembangunan ekionomi,. Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk saling bekerjasama, tolong-menolong dan bergotong-royong.
Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan” terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.(Mubyarto, 2001).
Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai “saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”, “kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya, sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai “saudara”, dalam konteks rahmatan lil alamin.  
Jadi asas kekeluargaan  yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan family system atau kinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945”, artinya dalam posisi “peralihan”. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.
Mengulang yang disinggung di atas, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana “partisipasi” dalam kehidupan ekonomi harus pula disertai dengan “emansipasi”. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya emansipasi.
Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33 UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia dijamin Singapore). Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat (impoverishment). Lalu, mengapa kita mengkambinghitamkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita? Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi mondial.
Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak seharusnya dirubah, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi “addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.

PENUTUP: SIAPA YANG BERDAULAT, PASAR, ATAU RAKYAT?
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah “menobatkan” pasar-bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst dst. 1)
1) Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah
sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memperpurukkan” petani-petani
kita, justru ketika kita petani sedang panen padi, kita malah mengimpor beras murah dari luar negeri?
Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/ penguasa  dana (penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN, termasuk para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama (baca: para penguasa pasar dan penentu pasar).
Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on, 2) tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mengatasi ketimpangan struktural. Adalah naif menganggap “pasar bebas” adalah riil.  Lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights), tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.

2) Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21
Maret 1997.
Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila asar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai berdaulat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menegaskan rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.
Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak dirubah, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” bisa diartikan sebagai  mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama.
“Kesejahteraan Sosial” sebagai jugul Bab XIV UUD 1945 pun tidak perlu dirubah atau diganti dengan memasukkan perkataan “Ekonomi”, sebab “ekonomi”  adalah derivat atau alat untuk mencapai “kesejahteraan sosial” itu.




Prof. Dr. Sri-Edi Swasono :
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI)

Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Sistem Ekonomi Indonesia, Jakarta, 19 Februari 2002.

Lampiran :  
PLATFORM NASIONAL (Sri-Edi Swasono)
PLATFORM NASIONAL – I
Manifesto Politik: Indonesia Merdeka dan Bersatu (menjunjung tinggi National Sovereignty and Territorial Integrity).
Manifesto Budaya
: Bhinneka Tunggal Ika – Pluralisme adalah aset nasional, Pancasila sebagai “asas bersama” (bukan “asas tunggal”) merupakan pemersatu bagi pluralisme.
PLATFORM NASIONAL – II
Persatuan Indonesia dan keberdaulatan Indonesia merupakan tuntutan politik dominan dan final.
PLATFORM NASIONAL – III
Arti Kemerdekaan: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya (Bung Karno).
PLATFORM NASIONAL – IV
Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabaikan tanggungjawab global (politik luar negeri “bebas-aktif”).
PLATFORM NASIONAL – V
Yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara.
Pembangunan ekonomi adalah derivat untuk mendukung pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Pengembangan ekonomi rakyat memberi makna substantif terhadap platform ini.
PLATFORM NASIONAL – VI
Hubungan ekonomi nasional berdasar kebersamaan (mutuality) dan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship) yang partisipatif dan emansipatif (Bung Hatta).
PLATFORM NASIONAL – VII
Kita harus ikut mendisain ujud globalisasi (sebagai subyek, bukan obyek).
Kita harus tetap mewaspadai globalisasi, jangan sampai kepentingan nasional terdominasi oleh kepentingan global.
PLATFORM NASIONAL –VIII
Untuk melaksanakan Otonomi Daerah dalam NKRI, kita harus tetap memiiki (tidak merongrong) Pemerintah Pusat yang kuat, yang kita tolak adalah Sentralisme Pusat.
PLATFORM NASIONAL – IX
Yang kita tuju adalah “Pembangunan Indonesia” bukan “Pembangunan di Indonesia”.
PLATFORM NASIONAL – X
Hutang luar negeri bersifat pelengkap dan sementara (Sri Sultan HB IX). Investasi asing berdasar mutual benefit, bukan predominasi (tidak overheersen) (Bung Karno dan Bung Hatta).
PLATFORM NASIONAL – XI
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kehidupan rakyat untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dari generasi ke generasi.

Rabu, 07 Juli 2010

makalah administrasi niaga

 Tugas Makalah Adminitrasi Niaga


Administrasi dalam pengertian yang sempit adalah suatu pekerjaan tata usaha dalam
kantor
Administrasi dalam pengertian yang luas adalah seluruh proses kerja sama orang atau
lebih dalam mencapai tujuan bersama.
Bisa dikatakan pengertian Administrasi adalah ; sekumpulan kegiatan tata usaha / tata
laksana pd sebuah organisasi/perusahaan guna menyelesaikan kearsipan yg dianggap
kurang sehingga ada nilai tambah guna mempermudah kegiatan tsb.
3. DEFINISI ADMINISTRASI MENURUT PARA AHLI
1.Leonard D white (1955: P.1) merumuskan sebaagai "administration is a process
comman to all group effort public or provaate, civil or millitaaary, large scaale or smaall scall" (administrasi adalah suatu proses yang biasanya terdapat pada semua usaha kelompok baik usaha pemerintah, ataupun swasta, sipil atau militer baik secara besar-besaran ataupun kecil-kecilan)
2.H.A.Simon (1961:P.3) "administration can be defined aas the aactivitiesa if
group cooperating to accomplish common goals" (administrasi dapat didefenisikan sebagai kegiatan kelompok orang-orang yaang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama)
3.Dwoght Waldo (1971:P.20) "administrasi adalah suaatu bentuk daya upaya
manusia yang kooperatif yang mempunyai tingkat rasionalaiteit yaang tinggi":
4.The Liang Gie (1965:P.5) "administrasi adalah segenap proses
penyelenggaraaaan dalam segenap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu". defenisi ini mendapat perubahan (1972 :P.a37) yatiu peoses penyelenggaraan diganti dengan rangkaian penaataaan. kemudian lebih disempurnakan (1977:13) yaitu administraasi adalah segenap rangkaian kegiatan terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kerjasama mencapaai tujuan tertentu.
5.S.p siagiaan (1985:P.3) " adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua
orang manusia atau lebih yang didasarkan pada rasionalitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
3|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga

6.Parajudi Atmosudirjo (11975 : P) administrasi adalah pengendalian dan
penggerak dari suatu organisasi sedemikiaan rupa sehingga organisasi itu menjadi hidup dan bergerak menuju ketercapainya segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh administrator yakni kepala organisasi.
4. DEFINISI ADMINISTRASI NIAGA BISNIS.
Administrasi adalah ; sekumpulan kegiatan tata usaha / tata laksana pd sebuah organisasi/perusahaan guna menyelesaikan kearsipan yg dianggap kurang sehingga ad nilai tambah guna mempermudah kegiatan tsb.
Niaga : adalah kegiatan pertukaran barang / jasa melalui antar individu/lembaga untuk
mencari laba semata.
Prof. dr. mr. s. prajudi Admosudidjo dalam bukunya yang berjudul “Administrasi Niaga atau Business Administration” adalah suatu pengertian yang mencakup dua pengertian menjadi satu, yaitu :
Administrsi Niaga adalah adminitrasi dari pada suatu organisasi niaga secara
keseluruhan, bilamana organisasi niaga tersebut merupakan perusahaan, maka
administrasi niaga tersebut dijalankan oleh Direksi dari pada perusahaan.
Administrasi Niaga adalah administrasi yang mengejar tercapainya tujuan-tujuan
yang bersifat keniagaan (business objective), dalam pengertian ini, administrasi
niaga tersebut dijalnkan oleh setiap manager dalam suatu organisasi niaga.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Administrsi Niaga adalah proses kerjasama dari kelompok orang untuk mencapai keuntungan / laba yang sebesar-besarnya.
Bisnis : adalah urusan individu/lembaga yg menyita waktu sehingga tidak ada waktu
untuk kegiatan lain.
4|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga

BAB II
1. LATAR BELAKANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN.
Perdagangan dimulai dari lingkungan yg paling kecil yaitu keluarga misalnya, saat
arisan kegiatan tsb berlangsung, ada yg membeli kontan/atau tukar menukar barang.
menukar brng disebut barter.
Diferensial : pertukaran bahan dasar yg sama untuk diproduksi misal, proses
pembuatan beras.
Paralelisasi atau produk dr hilir menuju hulu/exc : produke textile,sepatu,automotive
proses kegiatan ekonomi
1.Barang konsumsi yg secara lsg dpt memuaskan kebutuhan konsumen.
2.Barang industri : pendukung proses produksi, mesin,pabrik,alat berat,materizl dll.
3.Sistem ekonomi pancasila/kerakyatan masih relevan digunakan atau dipakai di
Indonesia al :
i)Roda ekonomi digerakkan via rangsangan ekonomi sosial dan moral.
ii)Keinginan masyarakat, guna memperoleh kemerataan sosial/egalitarian dg
asas kemanusiaan.
iii)Kebijakan ekonomi prioritas pd jiwa nasionalisme atau atas dasar
kepentingan rakyat banyak.
iv)Unit usaha koperasi sbg soko guru ekonomu sbg usaha bersama yg
diamanatkan UUD 45 pasal 33.
v)Pertimbangan & keselarasan TK nasional dlm hal desentralisasi agar terjamin
keadilan ekonomi pd masyarakat secara keseluruham dibumi pertiwi
Indonesia.
2.JENIS-JENIS KEGIATAN BISNIS :
1. Perdagangan
5|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga

2. Penyimpanan/gudang
3. Informasi / promosi
4. Jasa pengakutan / transportasi
Contoh EMKL : ekspedisi Muatan Kapal Laut.
5. Pembelanjaan / LLG/Kreditur
6. demand = supply
Barang yg diterima hrs sesuai dgn yg diminta
3.PENGERTIAN PERUSAHAAN :
Perusahaan yaitu suatu organisasi produksi yg memakai sumber-sumber yang tersedia dan ekonomi guna memuaskan terhadap kebutuhan konsumen dengan cara saling menguntungkan.
4.UNSUR-UNSUR PERUSAHAAN.
1.Organisasi. Yaitu perangkat / alat yg diatur dgn sumber lainnya ( 5M )
manusia,money,machine,market,metode,moral.
2.Produksi
3.Sumber Ekonomi
DL : direcr labour
DM : direct machine
Over head : listrik,Pam,Tlp,gaji,
4.Demand
5.Supply
6.Profit
Perusahaan adalah Suatu organisasi produksi yang menggunakan dan mengkoordinir sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan (barang dan jasa) dengan motif keuntungan.
6|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga

Badan usaha adalah Perusahaan dan gabungan perusahaan yang berdiri sendiri bertujuan untuk mencari untung atas kegiatan dan risiko yang dilakukan perusahaan.
Dalam memilih bentuk perusahaaan perlu mempertimbangkan berbagai hal berikut :
a.Jenis usaha yang di jalankan (perdagangan, industri, dll)
b.Ruang lingkup usaha.
c.Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha.
d.Besarnya risiko kepemilikannya.
e.Batas-batas pertanggung jawabannya.
f.Besarnya investasi yang di tanamkan.
g.Cara pembagian keuntungan.
h.Jangka waktu pendirian perusahaan.
i.Peraturan – peraturan pemerintah.
BAB III
1. BEBERAPA BENTUK PERUSAHAAN LEGAL DI INDONESIA.
1)Perusahaan Perseorangan
Adalah perusahaan yang dikelola dan di awasi oleh satu orang. Disatu sisi pengelola perusahaan memperoleh semua keuntungan dan di sisi lain menanggung semua risiko yang timbul dalam kegiatan perusahaan.
Kebaikan :
a)Mudah di bentuk dan di bubarkan.
b)Bekerja dengan sederhana.
c)Pengelolaan sederhana.
d)Tidak perlu kebijaksanaan pembagian laba.
e)Semua keuntungan menjadi pemilik perusahaan.
Kelemahan :
a)Tanggung jawab tidak terbatas.
b)Kemampuan manajemen terbatas dan bergantung pada satu orang.
7|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga

c)Sulit mengikuti pesatnya perkembangan perusahaan.
d)Sumber dana terbatas.
2)Firma
Adalah bentuk badan usaha yang didirikan oleh beberapa orang dengan menggunakan nama bersama atau satu dimana semua anggota bertanggung jawab sepenuhnya baik sendiri-sendiri maupun bersama terhadap hutang-hutang perusahaan kepada pihak lain. Bila perusahaan mengalami kerugian akanditanggung bersama, kalau perlu dengan seluruh kekayaan pribadi.
Kelebihan :
1)Prosedur pendirian mudah.
2)Kemampuan financial yang lebih besar.
3)Hasil keputusan bersama dengan pertimbangan seluruh anggota firma menjadi
lebih baik.
4)Adanya job description.
5)Pembagian kerja antar sekutu berdasarkan keahlian masing-masing.
Kelemahannya :
1)Tanggung jawab sekutu tidak terbatas.
2)Peluang adanya perselisihan antar sekutu cukup besar.
3)Kelangsungan hidup perusahaan tidak terjamin apabila salah satu sekutu
meninggal atau mengundurkan diri.
4)Hutang–hutang perusahaan ditanggung oleh kekayaan pribadi para anggota
firma.
5)Pimpinan biasanya lebih dari satu orang.
3)Perseroan Komanditer (Commanditer Vennootschap) / CV
CV dapat dianggap sebagai perluasan bentuk badan usaha persorangan. CV adalah persekutuan yang didirikan oleh beberapa orang (sekutu) yang menyerahkan atau mempercayakan uang dan barang untuk dipakai dalam persekutuan.
Ada 2 macam sekutu dalam CV, yaitu :
1.Sekutu Komanditer yaitu : Sekutu yang mempercayakan uang dan barangnya.
8|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga 

2.Perusahaan Negara Umum (Perum)
Bertujuan mencari keuntungan tetapi tidak mengabaikan kesejahteraan
masyarakat. Contoh : PLN, Telkom.
3.Perusahaan Terbatas Negara (Persero)
UU no. 1 tahun 1969, Persero adalah semua perusahaan yang berbentuk Perseroan terbatas dan diatur menurut kitab UU hukum dagang dalam mana seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan.
4.Perusahaan Daerah ( PD )
Adalah perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki oleh PD bertujuan untuk
mencari keuntungan yang akan dipakai untuk pembangunan daerah.
5.Koperasi
UU no. 25 tahun 1992, koperasi adalah suatu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi sekaligus sabagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azazkekeluargaan.
Tujuan koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan berlandaskan Pancasila dan UUD’45.
Pengelompokan koperasi menurut bidang usahanya adanya 4 yaitu :
a.Koperasi Produksi
b.Koperasi Konsumen
c.Koperasi Simpan Pinjam
d.Koperasi Serba Usaha
Menurut Wilayahnya ada 4, yaitu :
a.Primer koperasi
b.Pusat koperasi
11|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga
c.Gabungan koperasi
d.Induk koperasi
3)Yayasan
Yayasan merupakan sebuah badan hukum dangan kekayaan yang dipisahkan,
tujuan pendiriannya bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk usaha social.
4)Bentuk-bentuk Perusahaan Lain
Dalam
perkembangannya
perusahaan
dapat
mengadakan
kerjasama,penggabungan dengan perusahaan lain. Ada beberapa untuk kerjasama antar perusahaan, yaitu :
1.Joint Venture
Adalah perusahaan baru yang didirikan atas kerjasama antara beberapa
perusahaan yang berdiri sendiri.
Ciri-ciri Joint Venture :
i)Perusahaan baru yang didirikan bersama oleh beberapa perusahaan.
ii)Modal terdiri dari pengetahuan dan modal yang disediakan para pendiri.Joint
Venture antara perusahaan asing dengan modal yang di sediakan para
perseoroan terbatas.
iii)Hak dan kewajiban terbatas.
iv)Risiko ditanggung bersama.
2.Trust
Suatu bentuk penggabungan atau kerjasama perusahaan secara horizontal untuk membatasi persaingan maupun rasionalisasi dalam bidang produksi dan penjualan.
Contoh :.
3.Holding Company / Perusahaan Induk
Perusahaan yang berbentuk corp, yang menguasai sebagian besar saham dari
beberapa perusahaan.
12|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga
Contoh :
4.Sindikat
Adalah bentuk perjanjian kerjasama antara beberapa orang untuk melaksanakan
suatu proyek atau pemusatan lokasi tertentu.
5.Kartel
Adalah bentuk kerjasama perusahaan dengan produksi barang dan jasa sejenis yang didasarkan perjanjian bersama untuk mengurangi persaingan. Kartel di bagi dalam beberapa bentuk : Kartel Kondisi (syarat), Kartel Harga, Kartel Produksi, Kartel Daerah dan Kartel Pembagian Laba.
BAB III
PENUTUP
Dengan mempelajari ilmu administrasi niaga, diharapkan dalam pengelolaan suatu
perusahaan bisa memberikan Nilai lebih guna kepentingan administrasi perusahaan.
Para Manajer atau Direksi perusahaan apabila mengetahui betul tentang administrasi Niaga, dia akan menjalankan perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang baik, sehingga tujuan pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya bisa diperoleh.
Karena tujuan utama Perusahaan adalah pencapaian keuntungan yang sebesar-
besarnya. Dimana pengetahuan administrasi sangat diperlukan.
13|H a l a m a n
Makalah Administrasi Niaga